Orasi Presiden PKS yang Membangkitkan Kesadaran

dakwatuna.com - Saya baru saja menyelesaikan pekerjaan pada Jumat sore itu, ketika sebuah stasiun televisi menyiarkan pergantian presiden PKS secara live dari kantor DPP PKS di Jalan Simatupang, Jakarta Selatan. Jujur, saya menangis ketika menyaksikan orasi yang bergelora itu. Butiran air meleleh dari sudut mata seolah merasakan apa yang meluap-luap dari dada seorang Anis Matta. Merasakan hentakannya, gemuruhnya, dan kegelisahannya.
Bukan hanya saya, selang satu hari selepas orasi yang membiru tersebut, seorang teman yang alumni STAN mengirim BBM bahwa rekan-rekannya yang sudah hampir dua tahun vakum dari kegiatan tarbiyah, juga menangis, merasakan kerinduan yang dalam terhadap barisan kafilah dakwah bernama tarbiyah. Berdasarkan broadcast BBM dan status rekan-rekan di sosial media, saya tahu bahwa bukan satu dua orang yang merasakan hal yang sama, tapi banyak kader yang selama ini telah pasif, terpanggil kembali karena getaran hati mereka menyaksikan orasi sang ustadz yang berapi-api itu.
Saya membayangkan, sore itu ribuan kader PKS dari ujung barat sampai timur Nusantara terisak seraya mengaminkan doa yang dipanjatkan dengan suara bergetar oleh Sang Presiden, “Allahumma iyyaKa na’budu wa iyyaKa nasta’in… duhai Allah, sungguh hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan…”
Dari situ saya melihat, bahwa kasus impor sapi ini justru menumbuhkan kembali semangat kader-kader PKS pada tingkat akar rumput yang selama ini merasakan “futur nasional”. Bahkan ikhwah yang sudah insilakh pun, merasakan kerinduan untuk kembali bergabung dalam barisan dakwah ini. Seorang ikhwah yang tadinya sudah malas tahajjud tiba-tiba termotivasi untuk rajin bermunajat kembali pada sepertiga malam terakhir, merutinkan kembali shalat Dhuha dan meningkatkan kembali tilawah Qur’an. Subhanallah, Allah memberikan isyarat melalui kasus ini, agar macan tidur itu kembali bangun.

Anis Matta

Saya secara pribadi sudah lama mengagumi gagasan dan ide-ide Anis Matta. Itulah kenapa Anis menjadi ‘bio’ dalam profil saya di facebook. Membaca buku-bukunya, kita akan melihat bagaimana Anis mampu mengartikulasikan konsep politik Islam dalam konteks kekinian dalam bahasanya yang khas. Ketika banyak tokoh Islam kesulitan untuk menjelaskan penerimaan Islam politik terhadap konsep demokrasi yang dipandang sebagai sistem kufur, karena demokrasi divonis telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal –atau dalam bahasa lebih ekstrem demokrasi telah mendestruksi hukum Tuhan—Anis dalam bukunya justru tampil dan memberikan gambaran lebih jelas bahwa demokrasi bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram, tapi demokrasi adalah sistem politik yang bicara tentang legal dan tidak legal dalam perspektif hukum positif. Oleh karena itu menurutnya, tugas setiap aktivis Muslim adalah memperjuangkan agar apa halal dalam pandangan agama menjadi legal dalam pandangan hukum positif, dan apa yang haram dalam pandangan Agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum postif. Sehingga hukum positif kemudian menjelma layaknya terjemahan dari hukum-hukum Tuhan.
Dalam kacamata saya, alih-alih menjadi sebuah demarketisasi terhadap PKS, hiruk-pikuk berita daging impor ini justru berhasil memunculkan Anis Matta sebagai Tokoh Muda Potensial. Orasinya diliput berulang-ulang di televisi, dan menjadi headline beberapa hari belakangan ini. Di sosial media tak jarang teman-teman berbagi link untuk men-download atau menyaksikan ulang orasi tersebut. Saya sendiri menyaksikannya dua kali di sebuah situs berita, dan dua kali pula saya menangis.
Melihat orasi Anis Matta, saya tiba-tiba teringat Orator Ulung dari Amerika sana, Barack Hussein Obama. Anis persis menggambarkan apa yang diungkapkan oleh Philip Collins, penulis andal dari koran Times Inggris terhadap Obama: “Dia menunjukkan kekuatan brilian dalam berpidato.”
Kita bersyukur Indonesia hari ini memiliki banyak tokoh potensial untuk memimpin bangsa. Anis Matta meramaikan bursa tokoh tersebut bersama Anis Baswedan, Dahlan Iskan, dan Joko Widodo. Akan menjadi menarik jika pemilu nanti capres kita diisi oleh tokoh-tokoh tersebut. PKS tinggal memoles Anis dan memunculkannya sebagai ikon muda selayak Obama.

Janggal

Kasus daging impor ini memang janggal di mata kader PKS. Kita juga akan paham bahwa sementara pihak ada yang menari girang di atas panggung politik hari ini. Tebaran spanduk yang melecehkan PKS di Yogyakarta, juga aksi ‘vandalisme’ pada sebuah papan DPC PKS di Semarang membuktikan hal itu.
Namun bagaimanapun PKS tetap lebih baik dibandingkan partai lain. Justru karena PKS dipandang putihlah, maka setiap kali ada noda dalam partai dakwah ini selalu menjadi berita yang ‘seksi’ di mata awak media. Ekspektasi publik terhadap PKS sebagai partai yang bersih begitu tinggi sehingga memposisikan PKS sebagai partai yang benar-benar harus steril dari noda. Bayangkan ketika seorang aleg PKS membuka gambar porno dalam sidang, bagaimana berita tersebut menjadi bulan-bulanan media selama beberapa waktu lamanya dan publik pun sulit untuk melupakan kasus tersebut. Bandingkan dengan aleg partai lain yang bukan sekadar membuka, tetapi menjadi pemain dalam video porno, media tidak terlalu gempita dan melihat seolah hal tersebut lumrah bagi partai itu.
Yang menjadi menarik dalam kasus ini pula, mengapa awak media tidak membedah lebih lanjut mengenai Ahmad Fathonah yang diberitakan sebagai orang dekat LHI itu? Padahal wartawan terbiasa menelisik satu persatu orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, apalagi yang melibatkan sebuah partai besar. Rekan-rekan tentu tahu siapa Mindo Rosalina Manulang, Yulianis, kemudian Anggie, Nazaruddin, hingga Andi Mallarangeng. Dalam kasus LHI, mengapa awak media lebih tertarik untuk menelisik tentang Maharani? Mengapa tidak memburu sosok AF yang diberitakan sebagai orang dekatnya LHI—bahkan sebelumnya diberitakan sebagai asisten pribadi LHI—, Jika ingin berita lebih berimbang dan tidak ‘membully PKS’, sebetulnya bisa saja wartawan menelusur ke Setjen DPR apakah benar AF adalah staff khusus atau Aspri LHI di DPR.
Media juga abai terhadap sistem pergantian pucuk pimpinan PKS yang sepi dari konflik ini. Padahal pergantian ketua umum di parpol lain acap dihiasi dengan intrik, bahkan perpecahan. Tampaknya media sadar, bahwa sistem pengkaderan dan “strukturalisme PKS” memang unggul dan hal tersebut adalah hal yang biasa. PKS tidak akan pernah kesulitan untuk mencari tokoh pengganti LHI, Qiyadah PKS berposisi pada garis sam’an wa tha’atan (kami dengar dan taat) jika Majelis Syura menghendaki mereka untuk berada di level atas gerakan dakwah tersebut. Tentu suksesi semacam ini akan beda rasanya jika terjadi di partai lain. Sederhananya menurut saya: PKS tetap lebih baik.
Akan tetapi, jika pada akhirnya tuduhan terhadap LHI itu terbukti benar di mata hukum, atau dalam bahasa konspirasi jika fakta-fakta hukum yang dirancang dalam sebuah skenario itu mengharuskan pengadilan tipikor untuk memvonis LHI bersalah, saya yakin semangat kader PKS tidak akan meredup karena mereka bekerja bukan untuk qiyadah tetapi untuk Allah bagi perbaikan bangsa ini. Orang boleh datang dan pergi, qiyadah boleh berganti, tapi karakter kader PKS yang dibentuk dari pembinaan intens berupa halaqah pekanan tampaknya masih akan menyala dan tak akan meredup juga.
Dari buku mana pun yang menulis tentang PKS, –yang sebagian besarnya merupakan riset S1 hingga S3 di dalam dan luar negeri—kita akan mudah mendapati bahwa segmen kader PKS adalah kaum Muda Muslim perkotaan terdidik yang melek media. Kelompok masyarakat semacam ini memiliki kritisismenya sendiri terhadap media massa. Artinya, analisis sebagian pengamat bahwa kader PKS akan membelot ke partai lain hanyalah analisa outsider yang tidak paham karakter, atau worldview kader PKS yang dididik 24 jam mulai dari cara makan hingga paradigma berpolitik.

Taubat Nasional

Namun sebaliknya kader PKS, selayaknya tidak memposisikan diri sebagai partai yang tidak pernah khilaf. Bagaimanapun kader PKS bukanlah kumpulan malaikat tanpa cela, namun merupakan sekumpulan manusia yang hanya berusaha untuk tetap berbuat baik. Khilaf bisa saja terjadi baik pada kader jundiyah di akar rumput maupun pada level qiyadah. Oleh karena itu taubat nasional yang diserukan oleh Presiden baru PKS adalah langkah yang tepat.
Taubat Nasional ini tampaknya akan mengembalikan ghirah di PKS seperti masa ketika masih bernama Partai Keadilan. Semangat seperti awal mula partai ini dibangun, namun dengan jumlah yang lebih besar. Bayangkan, perpaduan antara semangat PK namun dengan jumlah PKS. Sebuah perpaduan antara ketinggian kualitas dengan kuantitas. Ini mungkin yang dimaksud Anis Matta dengan istilah “membangunkan macan tidur PKS!”, dengan sebuah semangat baru yang menggebu: Tatajafa junubuhum ‘anil madhaji’. Perpaduan yang merupakan faktor pembawa kemenangan.
Ayyuhal ikhwah, marilah bangkit untuk meraih kemenangan dakwah yang kita harapkan itu. Bukankah kemenangan hanya didapat setelah melalui medan pertempuran? Kuatkan rabithah kita, tahajjud dan tafakkur kita. Deraskan kembali air mata seperti dahulu ketika di awal-awal kita bergerak. Ayyuhal ikhwah, ana mencintai antum…
 
Powered by Blogger