Menjadi
Seorang Murabbi
PENDAHULUAN
Murabbi adalah istilah tarbiyah
untuk menyebut pada seseorang yang menyelenggarakan dan bertanggungjawab atas
proses tarbiyah suatu kelompok. Ia
berperan penting sebagai pengawal regenerasi kader-kader dakwah. Ia pula yang
bertanggungjawab melakukan proses tarbiyah,
yaitu pembentukan pribadi dan pewarisan nilai, disertai kontrol dan evaluasi.
Ada
pepatah mengatakan, “Jadilah muridnya
guru, bukan muridnya buku”. Proses pembelajaran atau tarbiyah tidak cukup dengan membaca buku saja. Buku memang mampu
memberikan wawasan dan pengetahuan, tapi buku tidak bisa diajak berdiskusi.
Buku tidak akan pernah tahu apakah pembacanya keliru menangkap isi tulisannya
atau tidak. Pun dengan membaca buku saja kita tidak bisa dikatakan sebagai
murid dari si pengarang buku tersebut. Maka haruslah ada orang yang mengawal
proses pemahaman tersebut. Peran itu diampu oleh murabbi.
Pertanyaannya
adalah, mudahkah menjadi murabbi?
Mudah! Memang, ada ikhwah yang masih
takut-takut menjadi murabbi karena dianggapnya beban. Tapi ingatlah, Allah itu
menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan.
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki bagimu kesulitan.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Kemudahan
menjadi salah satu semangat Islam. Rasulullah saw pun menyukai kemudahan. Bila
ada dua hal yang sama-sama boleh dilakukan, maka beliau memilih yang lebih
mudah di antaranya.
Menjadi murabbi ibarat orang belajar naik sepeda. Bagi mereka yang belum
pernah mencobanya akan merasa susah dan juga begidik membayangkan harus jatuh
dari sepeda. Namun sebaliknya, bagi mereka yang sudah mencoba naik sepeda
bahkan sudah merasakan harus jatuh, mereka akan berpendapat bahwa naik sepeda
itu mudah dan menyenangkan.
Tujuan tarbiyah memang tetap, namun metode dan teknik membina semakin
beragam dan kaya. Belum lagi sarana dan prasarana yang kini kian lengkap.
Semuanya sudah tersedia, kita tinggal memanfaatkannya. Jadi apa susahnya
menjadi murabbi?
TUGAS MURABBI
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jumu’ah : 2)
Layaknya peran Nabi Muhammad saw
sebagai rasul Allah, murabbi pun
memiliki peran yang tak jauh berbeda, yakni :
1.
Membacakan ayat-ayat Allah swt
Membiasakan binaan untuk senantiasa berinteraksi dengan Al
Qur’an dalam kesehariannya, menjadikannya sebagai pedoman hidup, adalah tugas murabbi. Interaksi dengan Al Qur’an itu
meliputi (a) tilawah harian secara
baik dan benar, (b) hafalan, serta (c) pemahaman dan pengamalan ayat-ayatnya.
Seorang ulama menjelaskan, siapakah dari umat Islam yang
masuk kategori meninggalkan Al Qur’an : “Barangsiapa
yang tidak membaca Al Qur’an maka ia telah meninggalkannya. Barangsiapa yang
membaca Al Qur’an namun tidak mempelajari isinya maka ia telah meninggalkannya.
Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, mempelajari isinya, namun tidak
mengamalkannya maka ia telah meninggalkannya.”
2. Menyucikan dari
kemusyrikan dan kemaksiatan, wayuzakkiihim
a.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams : 8-10)
Manusia memiliki dua kecenderungan, fujur dan takwa. Dengan begitu, seorang murabbi adalah pengawal proses pemupukan dan penjagaan ketakwaan
para binaan, melalui monitoring amal
ibadah yaumiyah juga penanaman akhlakul karimah.
b. Di sisi lain,
manusia mempunyai dua potensi : positif dan negatif. Murabbi bertugas membantu mengembangkan potensi positif dan
mereduksi potensi negatif. Potensi-potensi itu meliputi keahlian, studi khusus,
keterampilan dan kemampuan, wawasan, bakat, minat, dll.
3. Mengajarkan isi
kandungan Al Qur’an dan Al Hadits
a. Yaitu
memahamkan binaan tentang Islam sebagai way
of life, dengan mempertajam pemahaman mereka tentang syahadatain, ma’rifatullah,
ma’rifaturrasul, Islam yang kaffah, serta memahami posisi dan kewajiban
sebagai makhluk.
b. Juga dengan
membiasakan binaan dengan amal ibadah yaumiyah,
menghidupkan sunnah, mewarnai ruh, fikroh, tampilan fisik, perilaku,
selera, dan setiap unsur diri dengan nilai-nilai Islam demi membentuk
pribadi-pribadi yang senantiasa mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam
kehidupannya (syakhshiyah islamiyah).
c. Menumbuhkan
kepedulian binaan terhadap persoalan dunia Islam, kondisi umat Islam, serta
berperan dalam memperjuangkan umat Islam demi membentuk pribadi-pribadi da’i
yang menyeru umat kepada Islam (syakhshiyah
da’iyah).
STATUS
MURABBI
1.
Menyambung Mata Rantai Dakwah
Proses
kaderisasi merupakan titik penting dan vital yang menjamin ketersediaan para
pelaku dakwah di setiap waktu dan adanya keberlanjutan pewarisan nilai.
Pembinaan yang intens dengan mewariskan nilai, melakukan rekrutmen sekaligus
memperhatikan aspek kualitas kadernya dengan penjagaan yang baik merupakan
bagian dari proses untuk menyambung rantai dakwah ini. Apabila kita tidak tidak mau jadi murabbi, maka rantai tarbiyah itu akan terputus pada kita.
Tidakkah kita merasa bersalah? Maka jangan tersinggung jika dikatakan bahwa
kitalah yang telah memutus mata rantai itu.
2.
Kontribusi Dakwah
Dakwah
adalah pekerjaan besar dengan cita-cita yang sangat tinggi, tujuan yang sangat
mulia, dan perjalanan yang sangat panjang. Ada pepatah mengatakan, “Sebesar apapun yang Anda sumbangkan untuk
dakwah Islam maka itu kecil nilainya bagi dakwah yang sangat luas ini. Akan
tetapi, sekecil apapun yang Anda sumbangkan bagi dakwah maka sangat besar
nilainya bagi Anda sendiri.” Jadi sesungguhnya kitalah yang membutuhkan
dakwah ini, untuk berkontribusi, sebagai ladang amal yang telah Allah sediakan
bagi kita.
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang
tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya,
ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An Nisaa : 95-96)
Jangan
berpikir bahwa masih ada kok orang lain yang bisa menjadi murabbi, jadi aku tidak usah saja menjadi murabbi. Tunggu dulu!
Ketika semua orang berpikiran sama seperti itu, akan jadi apa dakwah ini? Di
saat semakin banyak orang yang membutuhkan banyak sentuhan dakwah, justru tidak
ada yang membina. Hal ini akan berakibat besar pada dakwah.
3.
Tidak Ada Outsourcing
Menjadi
murabbi hanya bisa dilakukan oleh
orang yang telah mengikuti tarbiyah,
karena tugas murabbi adalah mencetak
kader-kader tarbiyah dalam kerangka manhaj kita.
SEBUAH
KEPRIHATINAN
Pertumbuhan
jumlah kader bisa dibilang lambat, jauh dari target. Mengapa begitu? Kalau
dikaji lebih jauh, di antara banyaknya kader dakwah sekarang, masih banyak ikhwah yang tidak membina. Padahal dari
jenjang dan usia tarbiyahnya,
semestinya punya binaan. Apakah karena tidak ada yang bisa dibina? Tidak,
justru banyak orang di sekeliling kita yang sebenarnya mau menerima dakwah ini.
Lantas apalagi yang menghalangi kita untuk membina?
UNTUNGNYA
JADI MURABBI
1. Pahala
sebagai Da’i
“Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk
kepada satu orang karenamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.”
(Muttafaq Alaih)
“Sesungguhnya Allah, malaikatNya, serta
penduduk langit dan bumi, hingga semut yang ada di lubangnya, dan ikan-ikan
yang ada di laut, (semuanya) berselawat atas orang yang mengajarkan kebaikan
kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)
2. Multi
Level Pahala
“Barangsiapa membuat suatu sunnah yang baik
dalam Islam maka baginya pahala dari hal itu dan mendapat pahala yang sepadan
dari pahala orang lain yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala dari orang
lain itu sedikit pun…” (HR. Ahmad)
3. Lebih
Memahami Tarbiyah
Dengan
menjadi murabbi, kita dituntut untuk semakin memperdalam, menginternalisasi,
dan memperkaya materi yang pernah kita dapatkan untuk diajarkan kembali kepada
binaan. Selain itu sebagai seorang murabbi,
kita tentunya akan mendapatkan tambahan materi tarbiyah yang memang khusus disiapkan untuk para murabbi. Itu berarti, ikhwah yang mempunyai binaan akan
menerima lebih banyak ilmu dan wawasan dibanding yang belum mempunyai binaan
kan?
4. Termotivasi
untuk Terus Meningkatkan Amal
Hal
itu sudah jelas. Masa iya syiar
ibadah harian murabbi lebih rendah
dibandingkan binaan?
5. Pendewasaan
Diri
Rasa
tanggung jawab, bijaksana, empati, belajar untuk berkomunikasi dan memahami
karakter orang lain, semua itu bisa kita dapatkan seiring dengan interaksi yang
dibangun dengan para binaan.
6. Aplikasi
Ta’awun
MENGHALAU
KERAGUAN
1. Merasa
Belum Siap
Obat dari keraguan karena merasa tidak
siap adalah, jalani! Cobalah saja dulu. Adapun
persiapan itu bisa sambil jalan.
2. Merasa
Belum Pantas
Kita
tak perlu menunggu menjadi sempurna untuk menjadi murabbi. Toh pada kenyataannya tidak akan ada manusia sempurna kan?
Kalau kita terus menunda-nunda, bagaimana nasib para mad’u yang menunggu untuk di-tarbiyah-i
dan didakwahi? Berangkatlah berdakwah dengan apa yang ada, tak perlu menunggu
semuanya sempurna. Dan langkah kesempurnaan itu akan berjalan seiring pekerjaan
dan waktu.
3. Merasa
Tidak Cocok
Merasa dirinya tidak ahli. Masa iya?
Jangan menyimpulkan tidak ahli atau tidak cocok sebelum dicoba. Kalau gagal,
coba lagi. Gagal lagi, coba lagi, dan seterusnya. Dari kegagalan akan ada
evaluasi dimana letak kegagalannya. Itu akan menjadi pelajaran yang berharga
untuk perbaikan ke depannya.
4. Belum
Mendapat Kelompok Binaan
Belum mendapat kelompok? Mintalah
kepada murabbi. Insya Allah kita tidak akan kehabisan obyek yang siap didakwahi,
karena ada begitu banyak orang yang memang membutuhkan sentuhan dakwah kita.
5. Sibuk
Sesibuk
apapun kita, selama kita menganggap menjadi murabbi
itu penting, maka bagaimanapun caranya kita pasti akan berusaha meluangkan waktu
dan memprioritaskan itu. Sebenarnya ada kelebihan yang dimiliki orang-orang
sibuk. Orang-orang sibuk akan berusaha mencari celah untuk menyisipkan
aktivitas yang diinginkan di sela-sela kesibukannya yang lain.
6. Trauma
Pengalaman
Jangan
biarkan trauma selamanya menghalangi kita untuk menjadi murabbi. Salah itu biasa, gagal itu biasa. Maka cobalah kembali
sambil terus memperbaiki diri, dengan berkaca pada pengalaman-pengalaman yang
pernah dialami.
MEMULAI
JADI MURABBI
1. Alasan
Menjadi Murabbi
Ada berbagai
pengalaman bagaimana seseorang menjadi murabbi.
Ada yang terpaksa, ada yang melanjutkan kelompok taklim, ada yang memang ingin
menjadi murabbi, ada yang menjadi murabbi karena tradisi angkatan, ada
pula yang menjadi murabbi karena
merasa butuh penerus, dan bahkan ada pula yang memutuskan untuk menjadi murabbi karena merasa ini adalah
panggilan dakwah. Apapun alasannya, itu tidak masalah. Itu urusan antara kita dan Allah.
Untuk menjadi murabbi, kita tidak
dituntut memiliki alasan ideal untuk memulainya. Alasan
itu bisa kita perbaiki seiring dengan berjalannya waktu.
2. Mendapatkan
Binaan
a. Jangan
Tunda
Bila memang keinginan untuk membina
telah ada, jangan tunda lagi. Pasti
Allah swt akan memudahkan segala urusan.
b. Banyak
Cara Mendapatkan Binaan
Ada banyak cara untuk mendapatkan binaan di antaranya : (i)
merekrut sendiri, (ii) titipan atau rekomendasi ikhwah, (iii) membuat aktivitas rekrutmen, (iv) follow up taklim, (v) limpahan halaqoh dari ikhwah lain baik itu meminta maupun diminta.
BAB VIII SETTING MENTAL MURABBI
Medan
dakwah isinya sedemikian kompleks dan beragam, dengan segudang tipe, sifat,
karakter, dan kondisi manusia. Untuk itu kita senantiasa dituntut untuk
bersikap positif yang tersimpul dalam tiga hal, yaitu ikhlas, lapang dada, dan husnudzon. Dengan berlandaskan tiga hal tersebut,
maka setting mental murabbi akan melahirkan sikap-sikap
berikut :
1. Tidak
Patah Arang
Perjuangan dakwah memang membutuhkan pengorbanan yang luar
biasa, belum lagi jika harus menghadapi cacian dan makian dari orang-orang yang
membenci Islam. Namun jangan patah arang. Cobalah berkaca pada Rasulullah saw
yang tak gentar meski beliau harus mendapatkan tak hanya cacian namun juga
lemparan batu hingga kotoran.
Hadapi semua cobaan yang menghalangi dengan sikap dewasa;
jangan sampai cobaan itu menyurutkan niat menjadi murabbi. Anggap saja peristiwa-peristiwa itu sebagai kenangan
‘manis’ dalam perjalanan tarbiyah
kita. Bagaimanapun kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kemudian. Bisa
jadi orang-orang yang dahulu mencaci langkah dakwah kita, di kemudian hari
mendapatkan hidayah untuk bergabung di barisan dakwah ini. Allahu akbar..
2. Bersikap
Tenang
Dalam dakwah adakalanya kita jumpai hal-hal tidak terduga,
baik itu positif maupun negatif. Cobalah untuk bersikap tenang menghadapinya.
Ketenangan memberikan kesempatan kepada kita untuk berpikir jernih dan
memberikan respons terhadap peristiwa tersebut. Ketika kita bisa merespons positif,
maka tantangan bisa diubah jadi peluang.
3. Bijak
Menyikapi Realitas Binaan
Kita tidak sepenuhnya tahu tentang sifat-sifat dan background binaan. Kadang ada sfat atau
perilaku mereka yang perlu diubah. Namun perubahan itu butuh proses, butuh
waktu. Maka perlulah kita menghargai proses binaan untuk menjadi baik. Sangat
berlebihan jika kita menuntut seseorang yang masih berandal pada hari Sabtu,
mulai tarbiyah hari Ahad, harus sudah
alim di hari Senin! Ingat, semua itu butuh proses!
Yogyakarta,
Maret 2012
Dirangkum
dari “Menjadi Murabbi Itu Mudah”
karya Muhammad Rosyidi dengan perubahan secukupnya