Tanggapan untuk Imam Subkhan.
Edisi koran harian Solopos Kamis, 16 Mei 2013 11:14 WIB :
Yeni Mulati, Penulis dan pemimpin penerbitan di Solo
Simpatisan Partai Keadilan Sejahtera

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”autolisis”
adalah perombakan tubuh organisme yang mati oleh enzim tanpa bantuan bakteri.
Kamus Lengkap Biologi yang disusun Abercrombie, Hickman dan kawan-kawan (1997)
mendefinisikan “autolisis” sebagai penghancuran diri yang dialami jaringan
setelah kematian sel-selnya atau selama metamorfosis atau atropi yang
melibatkan kegiatan lisosom di dalam sel.
Sejatinya, autolisis justru sebuah mekanisme yang sangat
diperlukan oleh individu. Sel-sel yang rusak dihancurkan dalam proses autolisis
dengan bantuan lisosom. Sel dihancurkan seutuhnya dan secara bersamaan akan
diproduksi sel baru melalui reproduksi secara mitosis dari sel yang berdekatan
untuk menggantikan sel yang sudah dihancurkan tersebut (Guyton & Hall,
2008).
Jadi, autolisis adalah sebuah mekanisme penting untuk
mempertahankan hidup organisme dengan cara pembuangan sel-sel yang sudah rusak
dan mati sehingga akan mencegah berbagai gangguan dan penyakit yang berkaitan
dengan zat-zat toksik, yang kita dapatkan setiap hari lewat asupan makanan
kita.
Jika Imam justru menjadikan autolisis sebagai pengiasan
tentang apa yang bakal terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebenarnya
secara tidak langsung Imam sedang mendoakan PKS untuk segera melakukan
mekanisme yang akan memperkuat tubuh PKS dan membuat PKS kian bugar sepanjang
masa. Sebenarnya, itulah harapan kita semua. Bukan hanya kepada PKS, tetapi
juga partai politik (parpol) lain. Sistem politik di negeri ini adalah
demokrasi. Setiap lima tahun, pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil
rakyat.
Menguatkan parpol-parpol dengan cara melakukan kritik
konstruktif agar mereka bebenah dan terus-menerus meningkatkan profesionalisme
serta mendukung hal-hal positif dari apa yang mereka lakukan jauh lebih solutif
daripada sekadar melanggengkan sikap skeptis dan apatis. Apalagi menyematkan
sebuah label sebagaimana yang dituliskan dalam artikel Imam, “Kita tahu, di dunia politik hampir
tidak mengenal kata ‘haram’ untuk berbuat segala sesuatu, demi mencapai tujuan
yang kita inginkan. Segala cara akan ditempuh. Segala kekotoran dan kekejian
ada di panggung politik. Para ulama sepuh mengibaratkan politik sebagai WC
(water closet) di rumah kita…”
Opini semacam itu justru memperkeruh masalah, justru akan
membuat masyarakat kita kian antipati terhadap politik. Apakah betul politik
itu kotor? Ini tentu akan menjadi satu kajian lain yang membutuhkan analisis
komprehensif. Sebuah opini bisa dimasukkan dalam jenis wacana eksposisi.
Menurut Ismail Marahaimin (2001), eksposisi artinya menyingkapkan. Sesuatu yang
disingkapkan itu adalah sesuatu yang selama ini tertutup, terlindung atau tersembunyi.
Dalam wacana eksposisi dikenal istilah tesis, kelas-kelas
pembuktian dan kesimpulan. Tesis adalah inti eksposisi, opini yang ingin
”dipaksakan” agar pembaca menjadi yakin dan percaya. Untuk menguatkan, penulis
memerlukan kelas-kelas pembuktian. Tesis akan dikuatkan di kesimpulan.
Kelas-kelas ini, biasanya berupa data atau referensi dari sumber-sumber
tertentu.
Pada opini PKS Terautolisis, Imam membuat beberapa tesis
yang sebagian ingin saya komentari. Menurut Imam, PKS adalah partai yang
mengalami pembusukan (bukan autolisis) yang disebabkan oleh perubahan mental
dan moral para elitenya yang begitu besar syahwat terhadap kekuasaan, yang
akhirnya menanggalkan idealism dan garis perjuangan para partai.”
Tesis ini ditutup dengan sebuah kesimpulan sebagaimana
termaktub di paragraf terakhir: Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dengan
berbagai kasus yang menyandera, PKS bakal ditinggalkan banyak kader dan
konstituennya. Tidak ada lagi kepercayaan. Dan diprediksikan para Pemilu 2014,
perolehan bakan terjun bebas dan menjadi partai gurem yang tinggal menunggu
kehancurannya.”
Untuk mendukung tesis dan kesimpulan itu, Imam mencoba
mengajukan kelas-kelas pembuktian, antara lain PKS yang digoncang dengan kasus
moral dan hukum. Ada tiga kasus yang disebut, kasus Arifinto, letter of credit
(LC) fiktif Misbakhun dan (yang disebut sebagai puncak), Luthfi Hasan Ishaaq
(LHI) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus Arifinto jadi tamparan dan aib yang luar biasa besar
bagi PKS. PKS telah berusaha menyelesaikan permasalahan ini dengan
memberhentikan kader tersebut dari posisi sebagai anggota DPRD, tetapi ini jadi
aib yang sulit ditutupi. Mekanisme penjagaan internal PKS yang diklaim kuat dan
harus benar-benar dibuktikan agar publik percaya bahwa PKS memang serius
membina kader-kadernya. Ibaratnya, setinggi apa pun posisi kader, PKS harus
berani memberikan sanksi yang keras jika terbukti bersalah.
Dalam kasus LC fiktif, Misbakhun dinyatakan tak bersalah dan
divonis bebas (setelah menjalani hukuman beberapa saat di penjara). Sedangkan
kasus LHI hingga kini masih dalam proses hukum dan belum ada keputusan. Imam
juga menyoroti soal merosotnya moral dan mental para elite PKS dan dihinggapi
virus-virus hedonisme. Akan tetapi, fakta yang Imam ketengahkan juga merupakan
kelas pembuktian yang tak terukur. Apa parameter merosotnya moral dan mental
itu? Apakah karena beberapa elite PKS berpoligami? Atau, karena mereka memiliki
mobil dan rumah mewah?
Tak Terukur
Tentang ideologi partai yang berubah menjadi partai terbuka,
termasuk menerima kader nonmuslim, sekuler dan para artis yang tak jelas jejak
rekamnya, Imam tak secara detail menyebutkan siapa contoh-contoh kader
nonmuslim, sekuler dan artis yang tak jelas rekam jejaknya itu. Imam juga tak
menjelaskan berapa persen jumlah mereka dibandingkan dengan keseluruhan total
kader partai ini dan apa efek negatifnya bagi PKS dan negeri ini pada umumnya.
Dengan kelas-kelas pembuktian tak terukur, sebagian tak
detail, dan bahkan ada yang salah (kasus LC Misbakhun), apakah tesis dan
kesimpulan Imam bisa diterima? Lepas dari itu, tentu PKS bukan parpol yang sama
sekali bersih. Penilaian bahwa PKS menanggalkan jargon ”bersih dan peduli”
karena ”keberatan menyangga” menjadi ”cinta, kerja, harmoni”, menurut saya,
juga tak mengada-ada.
Bersih itu bukan jargon, tapi kata sifat, yang akan melekat
dengan sendirinya sebagai nilai atas sebuah kinerja. Kata sifat akan disematkan
oleh publik sebagai hasil penilaian atas sesuatu yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang. Ketika Imam memilih kata ”autolisis”, sejatinya saya sangat
bersepakat, tetapi tentu bukan pada autolisis yang diistilahkan Imam, melainkan
autolisis pada istilah yang lebih positif, yaitu proses peremajaan diri dengan
menghancurkan sel-sel rusak dengan sel-sel baru.
PKS perlu menghancurkan seluruh sel-sel yang busuk dalam
jaringan dan organ-organnya dan mengganti dengan sel-sel baru yang lebih
berkualitas. Kita semua berharap proses autolisis itu juga diikuti
partai-partai lain sehingga iklim demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik,
sehat dan sesuai dengan nurani rakyat. (afifahafra@yahoo.com). http://epaper.solopos.com/index.php/?IdCateg=201305201034