Cerita demi cerita saya amati dan matahari mulai menyengat tidak saya duga ternyata ibu tersebut adalah pemilik rumah yang begitu mewah...alangkah kagetnya saya mendengarkan ibu satunya tadi berkata ..lho ibu khan sudah kaya punya rumah dua kog masih dapat juga...miris memang dimana letak ibadah mereka kepahaman mereka tentang zakat...
Sudah di jelaskan dalam firman Allah QS.At-Taubah : ayat ke 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)
Yang Pertama: Fuqara Masakin
1. Fakir adalah orang yang
membutuhkan dan tidak meminta minta, sedangkan miskin adalah yang
meminta-minta.
2. Keduanya bermacam-macam:
- orang yang tidak memiliki
kekayaan dan tidak pula pekerjaan
- orang yang memiliki kekayaan
dan pekerjaan yang tidak mencukupi setengah kebutuhan
- orang yang memiliki kekayaan
dan pekerjaan yang tidak mencukupi kebutuhan standar
3. Sedangkan orang kaya yang tidak
boleh menerima zakat adalah orang yang telah memiliki kecukupan untuk diri dan
keluarga.
4. Orang fakir miskin diberikan
sejumlah yang dapat mencukupinya
- yang mencukupinya sepanjang
hidupnya, menurut Imam Syafi’i
- yang mencukupinya selama satu
tahun, menurut madzhab Maliki dan Hanbali
Bentuk kecukupan sepanjang hidup
dapat berupa alat kerja, modal dagang, dibelikan bangunan kemudian diambil
hasil sewanya, atau sarana-sarana lainnya seperti yang disebutkan oleh madzhab
Syafi’i dalam buku-bukunya secara rinci.
Di antara kecukupan adalah buku-buku
dalam bermacam ilmu, biaya pernikahan bagi yang membutuhkan. Sebab, tujuan
utama zakat adalah mengangkat fakir miskin sampai pada standar layak.
Kedua: Amilin
Yaitu orang-orang yang bertugas
mengambil zakat dari para muzakki dan mendistribusikan kepada para mustahiq.
Mereka itu adalah kelengkapan personil dan finasial untuk mengelola zakat.
- Termasuk dalam kewajiban imam
adalah mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya, seperti yang
pernah dilakukan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
- Syarat orang-orang yang dapat
dipekerjakan sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh
dan berakal, mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan-
membidangi pekerjaannya, dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian
urusan zakat, terutama yang berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga
syarat-syarat syar’i.
- Para amil mendapatkan
kompensasi sesuai dengan pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap,
meskipun dengan nama hadiah, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits
riwayat Bukhari Muslim, “Sesungguhnya aku mempekerjakan kalian salah
seorang di antaramu melaksanakan tugas yang pernah Allah sampaikan
kepadaku, kemudian datang kepadaku dan mengatakan: ‘Ini untukmu dan ini
hadiah untukku’, apakah ketika ia duduk di rumah ayah ibunya akan ada
hadiah yang menghampirinya?”
- Para amil harus bersikap lunak
dengan para muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya,
mendoakannya ketika mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan
memberikan bagian mereka.
Ketiga: Muallaf
Mereka itu adalah orang-orang yang
sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam, atau untuk menguatkan Islamnya,
atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum muslimin, atau mengharapkan
dukungannya terhadap kaum muslimin.
- Bagian para muallaf tetap
disediakan setelah wafat Rasulullah saw., karena tidak ada nash (teks
Al-Qur’an atau Sunnah) yang menghapusnya. Kebutuhan untuk melunakkan hati
akan terus ada sepanjang zaman. Dan di zaman sekarang ini keberadaannya
sangat terasa karena kelemahan kaum muslimin dan tekanan musuh atas
mereka.
- Yang berhak menetapkan hak para
muallaf dalam zakat hanyalah imam (kepala Negara). Dan ketika tidak ada
imam, maka memungkinkan para pemimpin lembaga Islam atau organisasi massa
tertentu mengambil peran ini.
- Diperbolehkan juga di zaman
sekarang ini memberikan zakat kepada para muallaf bagi mereka yang telah
masuk Islam untuk memotivasi mereka, atau kepada sebagian organisasi
tertentu untuk memberikan dukungan terhadap kaum muslimiin. Juga dapat
diberikan kepada sebagian penduduk muslim yang miskin yang sedang
dirakayasa musuh-musuh Islam untuk meninggalkan Islam. Dalam kondisi ini
mereka dapat pula diberikan dari selain zakat.
Keempat: Para Budak
Zakat dapat juga digunakan untuk
membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan:
- Membantu para budak mukatab,
yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk
pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak
mendapatkannya dari zakat.
- Atau dengan membeli budak
kemudian dimerdekakan
Pada zaman sekarang ini, sejak
penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi
menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari
tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian
maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara
kaum muslimin dengan musuhnya.
Kelima: Gharimin (orang berhutang)
Al-Gharim adalah orang yang
berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis gharim, yaitu:
1. Al-Gharim untuk kepentingan
dirinya sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer
pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan,
pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan
hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan
syarat:
- membutuhkan dana untuk membayar
hutang
- hutangnya untuk mentaati Allah
atau untuk perbuatan mubah
- hutangnya jatuh tempo saat itu
atau pada tahun itu
- tagihan hutang dengan sesama
manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak
ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Al-Gharim diberikan sejumlah yang
dapat melunasi hutangnya.
2. Al-Gharim untuk kemaslahatan
orang lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim
yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya.
Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang
diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari
zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya
mayit dari zakat. Karena gharim mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati.
Demikian madzhab Maliki, berdasrkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang
terdekat pada seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang
meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang
meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq
alaih)
Sebagian ulama hari ini
memperbolehkan zakat dipinjamkan dengan qardhul hasan karena qiyas
aulawiy (prioritas), yaitu jika hutang yang sudah terjadi boleh dibayarkan dari
zakat, maka qardhul hasan yang bersih dari riba lebih prioritas dari pada
pembagian zakat. Berhutang dalam dua keadaan itu tujuannya sama, yaitu untuk
menutup kebutuhan.
Keenam: Fii Sabilillah
Ibnul Atsir berkata, kata Sabilillah
berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang bekerja ikhlas untuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban, yang sunnah dan
kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu diucapkan, maka pada umumnya
ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya penggunaannya untuk konotasi ini
maka sepertinya kata fisabilillah, hanya digunakan untuk makna jihad ini (lihat
Kitab An-Nihayah Ibnu Atsir).
Menurut empat madzhab, mereka
bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi sabilillah, dan zakat
diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat
kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab
lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan
penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti majid, madrasah,
dan lain-lain.
Pandapat lain. Imam Ar Razi mengatakan
dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari firman Allah wa fii
sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya terbatas pada para tentara saja.
Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam tafsirnya dari sebagian ulama
fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran zakat kepada seluruh proyek
kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar, membangun masjid, karena
kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek kebaikan.
As-Sayyid Siddiq Hasan Khan berkata,
sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada Allah. Sedangkan jihad
–meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada dalil yang
mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun
Nadiyyah).
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di
sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan
urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah
persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat
transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah
mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan
Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam
Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini menyatakan, sabilillah adalah seluruh
kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi
keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan
perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para dai.
Syeikh Hasanain Makhluf, Mufti
Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat kepada seluruh organisasi
kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi dari Al-Qaffal dan lain-lain
dalam memaknai kata fi sabilillah.
Dalam Zhilalil Qur’an, Sayyid
Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas yang mencakup seluruh
kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.
Kesimpulannya, yang rajah
(kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah “fisabilillah” adalah jihad
seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan tetapi bentuk jihad pada
masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada berperang. Karena hukum
Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa. Adapun pada zaman
sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam untuk menegakkan
agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi umat Islam. Kami berpendapat
bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat kepada lembaga-lembaga modern
seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah. Yaitu jalan yang digunakan
untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam, baik dalam bentuk tsaqafah
(wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan perlu ditegaskan di sini
bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat adalah perang fisabilillah di
bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan Islam dan dibawah komando
pemimpin Islam.
Ketujuh: Ibnu sabil
Mereka adalah para musafir yang
kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di kampung halamannya. Mereka
dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya,
meliputi ongkos jalan dan perbekalan, dengan syarat:
- Ia membutuhkan di tempat ia
kehabisan biaya.
- Perjalanannya bukan perjalanan
maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
- Sebagian madzhab Maliki
mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu membayarnya.
Penyaluran zakat kepada para
mustahiq
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa
zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali
jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf
yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung
zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
- Madzhab Hanafi dan Maliki
berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak
kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian
zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah
pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan
memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Tidak diperbolehkan
menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang
melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
- Diperbolehkan memberikan zakat
hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat
untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
- Ketika membagikan zakat kepada
semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada
mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing
sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
- Selalu diperhatikan bahawa
kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka
dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
- Jika muzakki yang membagikan
langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu
kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup
kebutuhan.
- Jika imam yang membagikan,
maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut
Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.